Mengkhotbahkan Olah Sampah Ala Pesantren - Mustikayasa News

Rabu, 30 November 2016

Mengkhotbahkan Olah Sampah Ala Pesantren

Myn, NTB - Beni Putra dan Johanes Purwadi, dua santri Pondok Pesantren yang diasuh Tuan Guru Hasamain Juanini baru saja dilantik menjadi petugas kebersihan pesantren. Sumringah dan bangga tenggampar dari dua pelajar pondok pesantren yang berada di Nusa Tenggara Barat ini.
Tugas Beni dan Johanes bukan sekedar menjaga pesantren tetap bersih. Mereka berdua berkewajiban mengingatkan santri lain menjaga kebersihan. Selain itu, memilah sampah bahkan mencuci pakaian atau sandal, masih layak pakai yang dibuang ke tempat penampungan untuk nanti dibersihkan dan digunakan kembali.
Ingatan Tuan Guru Hasamain Juaninipun, menerawang pada saat 1990, pesantren harus mengeluarkan kocek hampir Rp 600 ribu saban bulan untuk uang kebersihan yang diserahkan pada pemerintah. Uang tersebut, bukan jumlah sedikit saat itu. Tetapi, sampah tetap tidak diangkut secara optimal, tercecer dan bau busuk menyeruak di sekitar pesantren.
Karena persoalan sampah, hampir seluruh wilayah area pesantren menjadi tempat untuk menimbun sampah. “Di pondok ini punya organisasi dan punya bagian masing2. Kami bertanggung jawab di bagian kebersihan pondok makanya kita juga mempunyai bagian2 itu. Kita bagian kebersihan dan kita punya jadwal piket,” ujar Beni dan  Johanes santri Pondok Pesantren Nurul Haramain pada Tim Ekspedisi Indonesia Biru medio 2015.
Badan Pusat Statistik mencatat persentase rumah tangga yang melakukan pemilahan sampah pada 2013 hanya 23,69 persen yang melakukan pemilihan dan mayoritas atau 76,31 persen tidak melakukan pemilihan alias langsung membuang.
Berdasarkan data hasil Susenas 2014, kebiasaan rumah tangga di Indonesia dalam membuang sampah masih banyak yang tidak ramah lingkungan yaitu rumah tangga yang membuang sampah dengan cara dibakar tercatat sebesar 69,88  persen, dibuang  sembarangan  ke  tanah  lapang,  kebun,  dan lainnya hanya 21,64  persen, ditimbun atau dikubur sampai 18,07 persen, dan dibuang ke laut, sungai dan got capai 11,51 persen.
Sementara rumah tangga yang membuang sampah dengan cara lebih  ramah  lingkungan  relative  belum  banyak,  seperti membuang sampah dengan  cara  diangkut  atau dibuang  ke  TPS/TPA  sebesar  27,49 persen rumah tangga, dijual atau diberikan kepada orang lain hanya 15,67 persen, dijadikan makanan ternak 10,69 persen, dan  didaur ulang atau dibuat kompos cuma 4,75 persen.
BPS menegaskan, dilihat  menurut daerah  tempat  tinggal, perbedaan persentase cara membuang sampah yang signifikan antara rumah tangga yang tinggal di daerah perkotaan dan perdesaan terjadi pada cara membuang   ampah dengan  cara  dibakar  dan  diangkut  petugas atau dibuang  ke  TPS/TPA. Persentase  rumah  tangga  perdesaan  yang  membuang  sampahnya  dengan  cara  dibakar  jauh  lebih tinggi  dibandingkan  rumah  tangga  perkotaan  yaitu  88,55  persen  berbanding  51,08  persen.
Menurut provinsi,  persentase  tertinggi  rumah  tangga  yang  membakar sampah  terdapat  di  Provinsi Nusa  Tenggara  Timur yaitu  sebesar 88,72  persen, diikuti Provinsi Aceh 86,85  persen, Provinsi Gorontalo 85,20  persen,  dan  Provinsi  Lampung  85,17  persen. Sementara provinsi dengan persentase terkecil rumah tangga   yang membakar sampah tercatat di Provinsi DKI Jakarta yaitu sebesar 6,20 persen.
Persentase rumah tangga yang melakukan daur ulang sampah dan membuat sampah menjadi kompos hanya 1,04 rumah tangga di perkotaan dan 3,71 di pedesaan Sementara rumah  tangga yang memanfaatkan  kembali sampah yang  dihasilkan sebagai makanan  ternak tercatat sekitar 10,69  persen.
Rumah  tangga  yang  tinggal di daerah pedesaan  tercatat  lebih  banyak  yang  memanfaatkan  kembali  sampah  sebagai  makanan ternak dibandingkan daerah perkotaan yaitu 13,59 persen berbanding dengan 7,77 persen.  Sementara rumah tangga yang sampahnya diangkut petugas/dibuang ke TPS/TPA dan rumah tangga yang sampahnya  dijual ke pengumpul barang bekas, persentasenya masih relatif rendah yaitu berturut-turut sebesar 27,49 persen dan 15, 67 persen.
Rumah tangga yang tinggal di  perkotaan  lebih  banyak  membuang  sampahnya  dengan  cara  diangkut  petugas/dibuang  ke TPS/TPA yaitu sebesar 51,56 persen  dibandingkan  dengan  rumah  tangga  yang tinggal di perdesaan yaitu hanya 3,59 persen.
Tuan Guru Hasamain Juanini mengungkapkan, saat awal-awal pendirian pesantren, dirinya bersama santri sudah bikin grobak gerobak untuk narik sampah ke tempat Pembuangan dengan jarak hampir sampai satu kilometer setiap sore hari. Bahkan, karena pesantren sangat menjaga kebersihan, turis Belanda memberikan satu komputer buat pesantren dan menjadi komputer pertama di pesantren.
“Lama-kelamaan jenuh juga, pembuangan sampah yang satu kilometer itu. Kami tidak punya pilihan, hampir semua lokasi pondokpun sudah digali jadi tempat sampah, dan penuh. Akhirnya kita terpaksa sisihkan uang 600 ribu sebulan itu tahun 90-an. Itu luar biasa bagi kita Rp 600 ribu. Besar. Karena kebersihan yang utama maka kita bayar,” ujarnya.
Tidak ingin pesantren menjadi lautan sampah santri, dirinya berinisiatif mencari pola pengangan sampah rumah tangga yang efektif, dengan berkaca pada negara maju dalam pengelolaan sampah domestik. Pilihanya jatuh pada insinelator.
“Kita cari akal, keliling seluruh Indonesia bahkan sampai ke Singapura dan Malaysia. Meramu sana sini, munculah ide insinerator. Pada dasarnya sampah itu musnah. Rupanya baunya dan pengaruhnya tidak menganggu lagi itu pada dasarnya bisa selesai dan biayanya sangat murah. Bahkan sebelum kita jalan tiga tahun bisa membiayai dirinya sendiri,” ujarnya.
Tuan Guru mengatakan, sebelum melakukan pengolahan sampah dengan insinerator, para santri memilah terlebih dahulu sampah yang bisa didaur ulang. Dari hasil memilah sampah tersebut, pesantren bisa mendapatkan dana hampir Rp 3 juta saban bulan. Bukan karena mengejar Rp 3 juta dari hasil pemilahan sampah. Baginya, langkah tersebut merupakan langkah awal, agar pola penanganan sampah yang dilakukan pesantren tidak menghasilkan polutan lanjutan yang berbahaya.
Ia menegaskan, pola insinerator bukan tanpa cacat. Ada polusi yang dihasilkan dari pembakaran. Tetapi hal ini menjadi realistis untuk penanggulangan sampah karena keterbatasan ruang dan dana operasional yang masih terbilang murah hanya sekitar Rp 280 ribu.
“Secara realistis memang begini. Kalau menganjurkan yang lebih tinggi daripada ini, misalnya zero emision ya hanya Jepang yang bisa begitu. Mereka bisa membiayai, kalau Indonesia tidak bisa. Ini yang paling realistis daripada tidak berbuat apapun,” katanya.
Pola pembakaran sampah, kata Tuan Guru, bisa dilakukan di kota besar yang mengalami problem dengan TPA seperti Jakarta. Insinerator skala kecil bisa dibangun di setiap titik perumahan dengan memberikan subsidi pada masyarakat. Syaratnya, tetap sampah tidak boleh keluar dari kampungnya. “Tiap lokasi ada unit pengolahan sampahnya dan selesai di situ tidak boleh keluar. Kalaupun keluar harus menjadi produk.”
Salah satu contohnya, Misalnya dari pengolahan sampah ada sisa abu yang hanya lima persen, bisa menjadi pupuk kalau dicampur dengan kotoran ternak atau bisa menjadi campuran bata ringan, dengan dicampur semen dan pengeras. “Sampah yang tadi mengganggu itu pada tahap ketiga yang tadi dikatakan bahwa simbiosis antara makhluk hidup dengan sampah. Itu akan terjadi,” ujarnya.
Menurutnya, pola seperti itu, membuat wilayah sebesar DKI Jakarta, tidak memerlukan Bantar Gebang yang menjadi pusat pengolahan sampah yang menghabiskan dana sampai triliunan setiap tahunnya. “Saya punya kalkulator itu, bisa dihitung. Saya pernah tinggal di Jakarta dan saya pernah menginisiasi, di kelurahan saya dulu di Penggilingan Cakung, kami ketemu dengan para khatib semua, sepakat untuk khotbah selama dua bulan tentang sampah,” katanya. (Mus)

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda